Di Balik Tingkah Lucu Genus Macaca: Menyingkap Eksploitasi Monyet Ekor Panjang dan Beruk di Indonesia

 

Pendahuluan

Sumber: Monyet Ekor Panjang/pixabay.com (kiri); Sumber: Beruk/Shutterstock (kanan)

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Beruk (Macaca nemestrina) tergolong dalam genus Macaca, yang termasuk bagian dari keluarga monyet dunia lama (Cercopithecidae). Kedua primata yang banyak ditemukan di Asia Tenggara ini dikenal sebagai hewan yang cerdas, lucu, dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Sehingga, tidak mengherankan jika monyet ekor panjang dan beruk memiliki habitat yang dekat dengan manusia, dan tak jarang menjadi kawan dan objek eksploitasi oleh manusia. Berdasarkan IUCN Red List (2022), populasi monyet ekor panjang mengalami penurunan sekitar  40% di alam liar sebagai akibat dari tekanan eksploitasi yang memerlukan mitigasi risiko agar mengurangi tingkat penurunan populasi primata ini.

Pernahkah kalian melihat secara langsung atraksi ‘topeng monyet’ atau video viral di sosial media yang menunjukkan kecerdasan dari kedua primata tersebut yang sedang beraksi naik sepeda, menari, dan dijadikan tontonan hiburan di jalanan kota? Di balik kelucuan tingkah monyet ekor panjang dan beruk, tersembunyi berbagai kisah kelam mengenai isu eksploitasi primate ini. Penonton hanya disuguhkan aksi dan kelucuan mereka sebagai hewan peliharaan, pekerja paksa, maupun pemain talenta sirkus. Di sisi lain, yang jarang disorot yakni penderitaan akibat eksploitasi yang dirasakan oleh MEP dan Beruk. Mereka banyak yang dipisahkan oleh induk sejak bayi, dipukul, dirantai, dipatahkan gigi dan taringnya, dan upaya manusia lainnya agar primata tersebut patuh dan bersikap submisif kepada pemeliharanya.

Mirisnya, banyak satwa yang seharusnya hidup damai di habitat asli kini terjebak dalam lingkaran rantai eksploitasi. Kasus primate yang dijadikan hewan peliharaan, pekerja sirkus, bahkan tak jarang yang mengalami kekerasan menjadi cerminan betapa serius dan kompleksnya kasus eksploitasi satwa. Lebih jauh lagi, primata dan manusia yang hidup bedampingan memungkinkan tingginya risiko penularan penyakit berbahaya dari satwa ke manusia (zoonosis). Pernyataan ini didukung oleh WHO (2023) yang menyebutkan bahwa sekitar 60-75% penyakit menular baru pada manusia disebabkan oleh hewan, baik hewan domestik maupun liar. Lantas sampai kapan kita mengabaikan isu eksploitasi yang dialami oleh Monyet Ekor Panjang dan Beruk di Indonesia?

 

Isi

Eksploitasi sebagai Hewan Peliharaan dan Risiko Zoonisis

Di Indonesia, tidak sedikit ditemukan MEP dan Beruk yang dijadikan hewan peliharaan. Tampak luar, mereka diibaratkan sosok ‘mainan hidup’ yang bebas dikenakan busana dan pernak-perniknya, sebagai objek foto, dan dilatih sedemikian rupa agar dapat melakukan trik lucu yang sederhana. Namun, jika dilihat dari perspektif lain seekor bayi monyet tidak pernah terlahir sebagai peliharaan manusia. Hampir semua MEB dan Beruk yang menjadi hewan peliharaan melalui proses diambil secara paksa dari alam, di mana induk monyet diburu dan bayi mereka direbut paksa dari genggamannya.

Monyet peliharaan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang sesuai dengan spesiesnya. Seperti yang kita ketahui bahwa, monyet merupakan hewan yang hidup berkelompok dan membutuhkan ruang yang luas untuk bergerak. Bayangkan jika pemelihara hanya memberikan fasilitas kandang yang relatif sempit, monyet diberikan asupan pakan yang seadanya, bahkan dibiarkan hidup sendiri dengan kaki yang dirantai. Hal ini dapat membuat primata tersebut stres dan puncaknya akan menunjukkan perilaku agresif kepada pemiliknya.

Selain dapat membahayakan manusia dikarenakan perilaku agresif monyet, kedekatan manusia dan monyet dapat memicu risiko penularan penyakit serius. Penelitian menunjukkan bahwa MEP dan Beruk dapat menjadi inang alami dari berbagai virus dan bakteri yang berbahaya bagi manusia, seperti herpes B, hepatitis, tuberculosis, bahkan rabies. Penularan dapat terjadi melalui gigitan, cakaran, bahkan kontak langsung dengan cairan tubuh (WHO, 2011). Oleh karena itu, di balik citra monyet sebagai ‘hewan peliharaan eksotis’ di media sosial, tersimpan derita pilu bagi monyet dan memiliki risiko bahaya yang tinggi pula bagi manusia. Menutup mata kepada mereka yang memelihara MEP dan Beruk sebagai hewan peliharaan berarti membiarkan eksploitasi dan risiko kesehatan semakin besar.

Antara Hiburan atau Derita: Pertunjukan ‘Topeng Monyet’

Sumber: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/ama/15

Hiburan yang melibatkan hewan dalam pertunjukannya bukan hal yang asing bagi masyarakat di Indonesia, baik secara langsung maupun disuguhkan dalam konten digital. Tak jarang manusia mengambil paksa hewan dari habitat asalnya untuk kemudian dilatih paksa sebagai sumber uang mereka tanpa memperdulikan penderitaan hewan tersebut. Sebagai contoh yaitu atraksi ‘topeng monyet’, di mana MEP dan Beruk didandani dengan pakaian dan topi, mengendarai sepeda, menari, dan bertingkah meniru seperti manusia yang mengundang banyak tawa.

Namun, dibalik kelucuan dari atraksi hiburan tersebut, ada penderitaan yang tidak disuguhkan kepada publik. MEP dan Beruk yang digunakan dalam pertunjukkan biasanya usia yang sangat muda. Mereka dilatih dengan keras agar bisa melakukan berbagai trik yang akan disuguhkan kepada penonton. Mereka dilatih dengan cara yang keras seperti ditarik dengan rantai, dipukul apabila tidak patuh, bahkan sampai dipatahkan gigi dan kukunya agar tidak bisa menyerang pawangnya. Luka-luka yang menghiasi tubuh primata tersebut merupakan cerminan betapa kejamnya tekanan eksploitasi yang dirasakan oleh mereka yang disebabkan oleh keegoisan sebagian manusia. Apabila posisinya dibalik, sudikah kita sebagai manusia untuk dieksploitasi habis-habisan?

Solusi bagi Diri Sendiri, Masyarakat, Komunitas Konservasi, dan Pemerintah

Di balik urgensi isu eksploitasi MEP dan Beruk di Indonesia, kita tidak hanya berhenti pada rasa prihatin saja, melainkan diperlukan solusi, baik sebagai individu, masyarakat, komunitas konservasi, dan pemerintah untuk menyikapi serta mengatasi eksploitasi dan menjaga populasi MEP dan Beruk di habitat asli mereka. Sebagai individu, kita bisa memulai dengan tidak membeli dan memelihara hewan liar sebagai hewan peliharaan, menunjukkan sikap tegas dalam menolak segala bentuk hiburan langsung maupun digital yang mengekploitasi hewan demi cuan semata. Selain itu, kitab isa melakukan edukasi bersama teman, keluarga, dan aktif melakukan kampanye di media sosial terkait isu eksploitasi hewan, khususnya MEP dan Beruk.

Pada level Masyarakat, kita perlu membangun ajakan bersama untuk menolak tindakan eksploitasi satwa. Atraksi jalanan yang menggunakan MEP dan Beruk dapat diberhentikan apabila Masyarakat serentak untuk berhenti menonton dan memberi uang kepada pawang topeng monyet. Bagi komunitas konservasi, riset lapangan populasi MEP dan Beruk perlu diperkuat dan keberadaan pusat rehabilitasi satwa perlu diperluas agar monyet yang diselamatkan dari tekanan eksploitasi bisa melalui fase pemulihan sebelum akhirnya dikembalikan ke habitat asli mereka. Salah satu Lembaga yang konsisten bergerak dalam isu ini adalah Yayasan IAR Indonesia (International Animal Rescue Indonesia). Upaya nyata yang telah dilakukan pada Juli 2024, oleh Yayasan IAR Indonesia yang bekerja sama dengan BKSDA, BBKSDA, dan BBTNBBS dalam merespon eksploitasi MEP dan Beruk adalah sebagai bagian dari program translokasi, mereka melepasliarkan 20 MEP, 4 Beruk dan 4 Kukang ke hutan lindung di Lampung. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan untuk mendukung keanekaragaman hayati dan konservasi satwa liar di Indonesia.

Sumber: Yayasan IAR Indonesia

Terakhir, pada level pemerintah, diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap isu perdagangan satwa liar dan larangan terhadap pertunjukan yang mengekploitasi MEP dan Beruk. Pemerintah pula dapat menggencarkan program edukasi publik terkait kesadaran konservasi dan perihal zoonosis. Melalui sinergi berbagai pihak, diharapkan rantai eksploitasi yang menjebak MEP dan Beruk dapat terlepas. Dengan begitu, kita semua dapat menyamakan perspektif bahwa MEP dan Beruk berhak untuk hidup damai di habitat asli, tanpa harus takut dari bayang-bayang eksploitasi dan keegoisan manusia.

 

Penutup

            Pada akhirnya, masa depan MEP dan Beruk memang ada di tangan kita semua. Tindakan tegas dalam menolak eksploitasi satwa dan memilih untuk berempati, peduli, dan lebih bijak dalam edukasi bagi diri sendiri dan orang terdekat kita mengenai kesadaran konservasi dan menjaga populasi MEP dan Beruk yang saat ini masuk kondisi terancam punah. Melalui individu yang konsisten untuk berkonstribusi, masyarakat yang bergerak bersama, komunitas konservasi yang terus memperjuangkan hak satwa, dan didukung oleh regulasi pemerintah yang tegas, maka akan memutuskan rantai eksploitasi yang menjerat MEP, Beruk, maupun satwa liar lainnya. Biarkan para monyet ekor panjang dan beruk tersenyum dan bertingkah lucu di hadapan induk dan spesiesnya, bukan menjadi objek eksploitasi hiburan semata.

 

Daftar Rujukan

World Health Organization (WHO). (2021). Zoonotic disease risks from non-human primates.

Ihsan, Fattreza. 2022. Masuk Status Terancam, Inilah Upaya Konservasi untuk Monyet Ekor Panjang. Diakses melalui link: https://yiari.or.id/masuk-status-terancam-inilah-upaya-konservasi-untuk-monyet-ekor-panjang/

IUCN Red List. 2022. The new IUCN Red List assessment of the long-tailed macaque and all subspecies. Diakses melalui link:  https://theltmproject.org/wp-content/uploads/2022/07/the-ltm-project-statement-on-the-iucn-red-list-update-july-2022.pdf?utm_

WHO. 2023. One Health. Diakses melalui link: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/one-health?utm_

Rosatika, Fathia. 2024. Translokasi dan Pelepasliaran Kukang, Monyet Ekor Panjang, serta Beruk di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Diakses melalui link: https://yiari.or.id/translokasi-tnbbs/?utm_

Komentar